09/05/10

Pandangan Politik

Di tahun 1960-an, salawat Badar yang dikorup ini pernah populer, termasuk di Bantul. Ini “ular” berkepala dua: kultus pada Bung Karno dan ejekan buat kekuatan Islam. Terutama, tentu saja, NU yang dianggap pemilik asli “lagu” ini. Bukan karena “pembajakan” lagu itu bila di ujung desa sana lalu terjadi duel antara Pemuda Ansor dan Pemuda Rakyat atau Marhaen. Saling ejek dan benturan fisik, sebagai akibatnya, merupakan kelaziman waktu itu. Dan biarpun pahit, malah harus diakui bahwa semua itu berfungsi sebagai gladi resik buat menyambut “Bharatayudha” yang kelak meletus di tahun 1965.

Berita pemuda berjaket merah atau hitam roboh oleh pemuda “kita” yang bersabuk jimat dari kiai di tahun 1960-an itu bisa membangkitkan semangat “juang” dan kentalnya fanatisme ideologi buat orang desa yang tak tahu arti politik sekalipun. Sekurangnya jadi semacam penegasan akan betapa benarnya pilihan ideologi yang kita ambil.

Coretan di tembok-tembok rumah, di pagar-pagar, dan juga pada jembatan di ujung desa merupakan variasi lain dari benturan ideologi waktu itu. Bila kita dapati pagi hari tulisan “Marhaen Menang” atau “Hidup PKI”, esoknya pasti sudah dijawab: “Islam Jaya” atau “Ganyang PKI”. Tapi bila yang kita temui hanya “salawat”: “Hidup Bung Karno PBR kita”, atau “Hidup Ganefo”, dus netral, semua kekuatan politik
yang ada di desa ayem saja.

Dengan mata seorang bocah yang belum lagi tamat SD, saya menyaksikan suasana diam yang tegang. Guru-guru saya, pihak Muhammadiyah yang mengharamkan segala jimat itu, diam-diam juga pergi ke kiai minta “diisi” kadigdayan kanuragan.

Doktrin pokok: “Mintalah langsung kepada Allah, jangan lewat perantara”, pernah tak berlaku. Perbedaan paham antara Muhammadiyah dan NU dalam soal jimat, usali,
witir, tarwih, doa talkin praktis terlupakan selama menghadapi common enemy. Rapat raksasa pun disimak. Tiap orang lalu peka terhadap perbedaan warna jaket. Dan tiap-tiap “yang bukan kita” dicurigai. Tak peduli bahwa itu menyangkut tetangga sebelah.

Pemuda, atau bocah yang “tak sabar” menunggu dewasa, ingin tampil heroik. Begitu juga Kang Kamino. Anak mbah Wongso Dadung yang buta huruf ini pun tak mau ketinggalan. Ia terpesona oleh palu arit: lambang PKI, yang adalah barang kongkret buat orang macam dia. Harus diakui memang, PKI tangkas merumuskan ide-ide abstrak ke dalam bahasa Kang Kamino. Bermula dari gurauan bahwa “wong tani”
pegangannya harus palu dan arit, dan bukan Lintang Rembulan (bintang bulan, Masyumi) atau gambar Jagat Lintang Sanga (bola dunia berbintang sembilan, NU) karena petani bekerja dengan arit, ia berubah makin sinis pada Islam akibat “pergaulan bebas” dengan PKI.

Setelah makin aktif menghadiri rapat dan main ketoprak (Lekra), ia ganti nama menjadi Kaminonov. Edan. Selanjutnya blak-blakan ia membuka diri sebagai kaum salat keno ora yo keno. Ia juga jadi terampil mengejek lawan sebagai kaum nggoiril (dari kata ghairil … dalam surat Al Fatihah).

Kami pun “mengintip”. Kang Kaminonov jarang di rumah, akhirnya. Kalau pulang selalu bersama empat atau lima kamerad lain. Anak mbah Wongso Dadung ini sudah jadi orang penting rupanya. Konon, pernah suatu hari ia kedapatan bicara tentang pembagian sawah dan rencana aksi sepihak.

Tapi, sawah belum lagi dibagi, Gestapu meletus. Islam bangkit. Perang sabil diteriakkan. Di berbagai daerah kemarahan tak terkendalikan. PKI disembelih.

Namun, segala puji hanya bagi-Mu, darah tak menetes di desa saya. Pak Lurah, biarpun pernah diancam PKI, melindungi mereka. Prinsipnya semua saudara. Lagi pula, PKI di desa saya cuma golongan cepethe. Pak Lurah sering bilang, mereka cuma ikut-ikutan. Sebagian hanya senang karena tiap rapat ada makan. Tahu apa mereka tentang politik?

Benar juga. Digertak petugas untuk wajib lapor pun mereka sudah menggigil. Betul, ada di antara mereka yang fanatik, tapi untuk mati demi partai orang masih mikir. Maka Kaminonov pun mengaku, akhirnya mendengar suara daun gugur pun dia kaget. Dikiranya sepatu tentara.

Pendeknya musuh telah tak berdaya. Tokoh-tokoh tua bilang, perang tak layak lagi diteruskan. Petuahnya, “Islam itu selamat dan menyelamatkan”. Dan tiap khotbah, Pak Lurah berseru “Kita memang punya hukum qisas: bunuh balas bunuh. Tapi memberi maaf itu lebih satria …”. Tuhan tiba-tiba menjadi kongkret. Termasuk buat Kaminonov. Haji Thohir yang “sepuh” itu rajin mengajarinya ngaji. Ia merawat rohani “si anak hilang” yang telah kembali. Maka, tak lupa tiap pengajian usai, ia ulang petuahnya: “Lembaran yang sudah dibaca ditutup. Begitu juga masa lalumu.”

Kaminonov tunduk sambil lirih mengucap: “Nggih, nggih, Pak Kaji, insya Allah.” Fasih dia. Dan bila orang menyindir nama Rusianya, ia cuma senyum. Jawabnya: “Lembaran lama sudah ditutup. Saya cuma Kamino …”